Narasi Misteri – Mereka Datang untuk Menyapa

Mereka Datang untuk Menyapa

Aku ingat sebuah pengalaman tentang suatu hal yang tentu saja masih membekas dalam pikiranku. Sekitar satu tahun yang lalu, tepatnya bulan September 2019. Bahkan sampai saat ini masih jelas tergambar dalam pikiranku. Dia datang, mengikuti, lalu hilang.

Aku adalah seorang mahasiswa dari universitas negeri di Kota Yogyakarta yang bertempat tinggal di Magelang. Cerita ini bermula ketika aku akan melihat sebuah pementasan di salah satu universitas swasta di Magelang.

Magelang kota seribu bunga sedang dilanda hujan deras sedari pagi, hawa yang dingin lebih asik jika menikmatinya dengan secangkir kopi sembari mendengarkan lagu indie kesukaanku yang berjudul Hujan di Mimpi oleh Banda Neira. Tapi tidak untuk kali ini. Hujan kali ini bukan suatu yang asik, sebab gelisahku sedang bermuara karena siang ini aku harus pergi. Hal yang ku lakukan adalah menatap langit dan berharap hujan segera berhenti.

Jam dinding yang terus berputar sudah menunjukkan pukul 15.00 dan terlihat langit mulai cerah. Tentu saja aku segera beranjak untuk pergi. Jarak dari rumah sampai tempat tujuan kurang lebih 20 menit. Acara sudah mulai sejak pukul 14.00 tapi memang sengaja aku berangkat terlambat karena budaya ngaret masih jadi kebiasaan nomor satu dalam tiap acara. Sebenarnya aku hanya menantikan acara malam hari. Sebagai seorang penakut tentu saja tidak akan pernah datang ke acara malam seorang diri, ya aku datang bersama temanku.

Aku tidak datang hanya berdua namun temanku jauh dari Yogyakarta pun ikut datang ke Magelang untuk menyaksikan pementasan ini. Mereka berangkat pukul 15.00 dari Yogyakarta, kamipun saling berkabar agar bisa sampai tujuan tidak terlambat, lebih tepatnya agar kita sampai bersamaan.

Acara malam hari. Tentu agak mengerikan karena matahari sudah berganti tugas dengan rembulan yang tidak sekuat matahari untuk menerangi. Sekali lagi, aku adalah orang yang penakut tentu saja tidak berani dengan hal-hal yang berbau mistis. Memikirkan semua hal dengan logika. Kerap kali aku diperlihatkan “mereka” namun tetap saja aku menganggapnya halusinasi. Sekali lagi, aku bukan orang yang memiliki sixth sense. Aku manusia biasa dengan lima indera. Harapanku malam ini berjalan dengan baik tanpa ditemani oleh “mereka”.

            Sebuah universitas swasta di Magelang yang memang katanya sering ada kejadian aneh. Namun saat pertama kali aku datang ke sana suasana biasa saja tidak ada yang mengerikan. Semua berjalan sesuai dengan harapanku. Aku dan teman-teman menikmati acara dengan bernyanyi bersama dan ditemani satu cup green tea latte dan satu buah kebab super pedas. Tidak lupa mengabadikan momen dengan ponsel di tangan masing-masing.

Waktu sudah menunjukkan pukul 18.00 waktunya ishoma. Aku dan temanku pergi ke kamar mandi. Sampai di kamar mandi perasaanku mulai tidak enak tapi karena sangat mendesak jadi beranikan diri saja. Keadaan kamar mandi berbentuk lorong hanya ada satu lampu sudah cukup membuat siapa saja berpikir dua kali. Di dalam kamar mandi sangat gelap dengan ventilasi atas terbuka sangat lebar. Aku bergantian dengan temanku untuk masuk kamar mandi, satu masuk satunya lagi memegangi senter dari ponsel lewat pintu yang dibuka sedikit.

Saat aku memegangi senter tiba-tiba pintu sebelah kamar mandi yang awalnya tertutup tiba-tiba terbuka pelan lalu menutup dengan kencang. Sontak aku kaget dan berfikir mungkin angin karena ventilasi di dalam sangat besar, namun anehnya pintu kembali terbuka dan tercium bau semerbak bunga yang sangat wangi. Bulu kudukku merinding dan sedikit merasa mual. “Sudah belum, ayo cepetan pergi. Sepertinya acara sudah mulai” begitu ucapku kira-kira. Aku tidak memberi tahu temanku apa yang terjadi. Setelah keluar, kamipun kembali duduk di aula. Namun pikiranku masih bertanya-tanya mengenai apa yang terjadi dan sedikit tidak percaya.

Musik gamelan jawa mulai mengiringi pementasan, para peserta sudah mulai siap di samping panggung. Namun ujung mataku melihat makhluk lain yang tentu saja ikut menyaksikan pementasan malam ini. Ya sosok tinggi hitam berdiri di depan kelas lantai dua sebelah timur. Yang aku lihat, dia lebih tinggi dari orang pada umumnya, mengenakan pakaian hitam. Karena aku penasaran dengan penglihatan ujung mata, maka aku melihat dengan mata secara keseluruhan namun anehnya tidak ada satupun orang yang berdiri di sana. Hanya terdapat pintu dan cendela yang tertutup. Alunan gamelan dan tembang jawa mulai dimainkan, bulu kudukku makin berdiri dan keringat dingin mulai menetes. Namun, aku masih berusaha meyakinkan diri bahwa apa yang aku lihat adalah salah.

            Acara selesai pukul 21.00, karena badanku sudah merasa tidak enak maka aku memutuskan untuk segera pulang. Dalam perjalanan pulang tanpa henti aku mengingat Tuhanku dan memanjatkan doa agar aku tetap ada dalam lindungan-Nya. Sampai di depan Akmil Magelang entah mengapa suhu udara sangat dingin dari biasanya. Bahkan aku merasa seperti bukan di Magelang. Ah pikiranku masih positif, mungkin karena banyak pohon besar jadi sedikit lebih dingin daripada tempat lain. Udara makin hangat ketika memasuki wilayah Pakelan.

            Aku menikmati udara malam ditemani sepeda motor putih kesayanganku. Jalan Magelang-Purworejo saat itu sangat ramai, mungkin karena malam Minggu banyak yang ingin menghabiskan malam dengan pasangan masing-masing atau keluarga. Semua berjalan baik-baik saja. Namun ketika sampai di perempatan aku dikagetkan dengan sebuah penampakan yang menurutku sangat mengerikan. Sepotong pergelangan tangan tergeletak di tengah jalan. Sontak aku segera menghindar dan dengan keras mengucap ASTAGFIRULLAH SUBHANALLAH. Jantung berdegup sangat kencang, merinding seluruh badan. (APA ITUU, HAH AKU LIHAT APA) pikirku dalam hati. Aku melihat tangan hanya sampai pergelangan berwarna pucat dan di sekitarnya banyak sekali seperti gumpalan daging yang hancur berwarna merah berceceran. Aku melihatnya sangat jelas. Jelas sekali di samping roda depanku. Bahkan aku sempat oleng menghindarinya. Namun anehnya, semua orang yang berada di sana beraktivitas normal bahkan mereka seperti tidak melihat apa-apa. Bahkan temanku yang di belakang tidak tahu apa yang baru saja aku lihat.

Sesampainya dirumah, aku istigfar sambil menangis bercerita apa yang aku alami hari ini. Namun, aku bersyukur bahwa aku bisa sampai rumah dengan selamat. Memeluk kedua orang tua dan berusaha menganggap bahwa mereka hanya ingin menunjukkan keberadaannya. Mereka datang hanya untuk menyapa.

Mereka ada namun tetaplah percaya bahwa kekuatan doa adalah satu-satunya. Tanamkan niat baik dalam hati. Percaya saja, kita baik maka mereka pasti akan baik. Karena pada dasarnya, mereka sama seperti kita hanya saja kita masih memiliki raga untuk terlihat dan melihatkan. Mereka akan tahu niat kita sesungguhnya. Maka lakukan kebaikan dan tetap berdoa. Kita hidup berdampingan.